Kerajaan Kutai MartapuraPrasasti Yupa sebagai tanda bukti berdirinya kerajaan Kutai Martapura
Mungkin hari ini ingin mengulik lebih banyak tentang kerajaan di Nusantara yg bisa dibilang kerajaan tertua di Nusantara. Mengutip dari berbagai sumber yang dikumpulkan, aku ingin mengulang dan membahas kembali mengenai kerjaan tertua yang satu ini.
I. Pendahuluan mengenai Kerajaan Kutai Martapura
Kerajaan Kutai Martapura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua berupa prasasti Yupa. Sejarah mengatakan bahwa Prasasti Yupa adalah sebuah prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Dan terdapat tujuh buah yupa yang memuat prasasti ini, Prasasti yang ditemukan ini penjelasannya tertulis dengan huruf Pallawa. Dan tertuang menggunakan bahasa Sanskerta, kalau diperkirakan bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar Abad ke-5 Masehi Prasasti ini ditulis.
Dari yang kita ketahui Bahasa Sanskerta aksara Dewanagari: संस्कृतम्, saṃská¹›tam[11]) adalah bahasa kuno Asia Selatan yang merupakan cabang Indo-Arya rumpun bahasa Indo-Eropa.[12][13][14] Bahasa ini berkembang di Asia Selatan setelah moyangnya mengalami difusi trans-budaya di wilayah barat laut Asia Selatan pada Zaman Perunggu.[15][16] Bahasa Sanskerta adalah bahasa suci umat Hindu, Buddha, dan Jain.
Bahasa ini merupakan basantara Asia Selatan pada zaman kuno dan pertengahan, kemudian menjadi bahasa agama, kebudayaan, dan politik yang tersebar di sejumlah wilayah di Asia Tenggara, dan Tengah.[17][18] Bahasa ini memberikan banyak pengaruh bahasa di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur, khususnya melalui kosakata yang dipelajari. Mungkin dilain kesempatan, akan lebih mendalam membahas tentang sejarah Bahasa Sansekerta.
II. Membahas Berdiri sekitar Abad ke 4 Masehi
Kerajaan Kutai Martapura ini berdiri sekitar abad ke-4 Masehi.[1] Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, atau tepatnya sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Nama Kutai sendiri diberikan oleh para ahli karena berasal nama tempat ditemukannya prasasti eksistensi kerajaan. Dan nama Martapura sendiri diperoleh dari kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang menceritakan pasukan Kerajaan Kutai Kertanegara dari Kutai Lama menyerang ibu kota kerajaan ini.[2]
Kalau membahas tentang asal muasalnya sendiri bahwa penemuan ini sebagai sumber yang menyatakan bahwa Kutai Martapura adalah Kerajaan tertua di nusantara adalah yupa.[4] Menurut hasil kajian yang dilakukan oleh J.G. de Casparis (1949), yupa-yupa di kawasan Muara Kaman yang diduga kuat sebagai peninggalan peradaban Kutai Martapura yang ditemukan berturut-turut pada tahun 1879 dan 1940.[4]
Adapun prasasti-prasasti
Prasasti Kutai I[2]
srimatah sri-narendrasya,
kundungasya mahatmanah,
putro svavarmmo vikhyatah,
vansakartta yathansuman,
tasya putra mahatmanah,
trayas traya ivagnayah,
tesan trayanam pravarah,
tapo-bala-damanvitah,
sri mulawarmma rajendro,
yastva bahusuvarnnakam,
tasya yajnasya yupo 'yam,
dvijendrais samprakalpitah
diartikan
Prasasti Kutai I
Sang Maharaja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aswawarman namanya, yang seperti Sang Ansuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas amat banyak. Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana.
kemudian
Prasasti Kutai II[3]
srimad-viraja-kirtteh
rajnah sri-mulavarmmanah punyam
srnvantu vipramukhyah
ye canye sadhavah purusah
bahudana-jivadanam
sakalpavrksam sabhumidanan ca
tesam punyagananam
yupo 'yan stahapito vipraih
diartikan
Prasasti Kutai II
Dengarkanlah oleh kamu sekalian, Brahmana yang terkemuka, dan sekalian orang baik lain-lainnya, tentang kebaikan budi Sang Mulawarman, raja besar yang sangat mulia. Kebaikan budi ini ialah berwujud sedekah banyak sekali, seolah-olah sedekah kehidupan atau semata-mata pohon kalpa (yang memberi segala keinginan), dengan sedekah tanah (yang dihadiahkan). Berhubung dengan kebaikan itulah maka tugu ini didirikan oleh para Brahmana (buat peringatan).
Prasasti Kutai III[3]
sri-mulavarmmano rajnah
yad dattan tilla-parvvatam
sadipa-malaya sarddham
yupo 'yam likhitas tayoh
diartikan
Prasasti Kutai III
Tugu ini ditulis buat (peringatan) dua (perkara) yang telah disedekahkan oleh Sang Raja Mulawarman, yakni segunung minyak (kental), dengan lampu serta malai bunga.
Prasasti Kutai IV[4]
srimato nrpamukhyasya
rajnah sri-mulawarmmanah
danam punyatame ksetre
yad dattam vaprakesvare
dvijatibhyo' gnikalpebhyah.
vinsatir ggosahasrikam
tansya punyasya yupo 'yam
krto viprair ihagataih.
diartikan
Prasasti Kutai IV
Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti api, (bertempat) di dalam tanah yang suci (bernama) Waprakeswara. Buat (peringatan) akan kebaikan budi sang raja itu, tugu ini telah dibuat oleh para Brahmana yang datang ke tempat ini.
Dalam yupa-yupa tersebut, ditemukan juga prasasti, antara lain berupa tulisan dengan aksara Pallawa yang ditulis dalam bahasa Sansekerta. sedikit tentang huruf pallawa / Aksara Pallawa atau kadang kala ditulis sebagai Pallava adalah sebuah aksara yang berasal dari India bagian selatan dengan bahasanya yang bernama bahasa Sanskerta.[1] Aksara ini muncul dari aksara Brahmi. Istilah aksara Pallawa awalnya dipakai oleh ahli arkeologi Belanda, Nicolaas Johannes Krom. Nama aksara ini berasal dari Dinasti Pallava yang pernah berkuasa di selatan India (sekitar Madras) antara abad ke-4 sampai abad ke-9 M atau dimali tahun 399–1635 Dinasti Pallava adalah sebuah dinasti yang memeluk aliran Jainisme.
Aksara ini digunakan bersama tumbuhnya kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Transformasi dari aksara Pallawa, yang disebut aksara Pasca-Pallawa, muncul di berbagai tempat Asia Tenggara. Di Indocina, aksara Pasca-Pallawa berkembang menjadi Khmer kuno yang kelak menurunkan aksara Thai dan Lao.[3] Di pulau Jawa, aksara Pasca-Pallawa kemudian disebut aksara Kawi yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya penyair.
Huruf yang dipahatkan pada yupa diduga berasal dari akhir abad ke-4 atau awal abad ke-5 M. Semua tugu batu tersebut dikeluarkan atas titah seorang pemimpin yang diketahui bernama Maharaja Mulawarman Naladewa.[5]
Mulawarman diduga kuat adalah orang Indonesia karena nama kakeknya, yakni Kundungga (ada juga yang menyebut kudunga atau kundungga) adalah nama asli nusantara.[5] Kundungga inilah yang diyakini cikal-bakal pemimpin pertama Kerajaan Kutai Martapura, sementara Mulawarman adalah penerus Aswawarman (anak Kundungga) yang membawa Kerajaan Kutai Martapura pada masa-masa puncak kejayaannya.[5]
R.M. Ng. Poerbatjaraka (1952) menafsirkan rangkaian huruf Pallawa berbahasa Sansekerta yang tercatat pada yupa tentang silsilah raja-raja yang pernah berkuasa pada masa-masa awal kerajaan Kutai Martapura
Dari peninggalan prasasti dapat dirumuskan kesimpulan bahwa silsilah keluarga Kerajaan Kutai Martapura, yakni Kundungga sebagai raja Kutai yang pertama. Kundungga memiliki anak bernama Aswawarman yang kemudian meneruskan kepemimpinan di Kerajaan Kutai. Aswawarman mempunyai tiga orang anak laki-laki. Dari ketiga anak Aswawarman ini, terdapat seorang anak yang paling terkemuka, yakni yang bernama Mulawarman sebagai putra mahkota.[6]
IV. Sumber Penemuan terjadi dalam dua Tahap.
Sumber primer sejarah Kerajaan Martapura adalah tujuh prasasti yupa yang ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman.[3] Penemuan batu bertulis ini tidak sekaligus, melainkan dalam dua tahap dengan rentang waktu lebih dari setengah abad. Tahap pertama, empat prasasti ditemukan pada tahun 1879. Setahun kemudian, keempat prasasti tersebut diangkut ke adalah sebuah lembaga kebudayaan yang didirikan di Batavia pada tahun 1778. Semenjak tahun 1910 lembaga ini dikenal dalam bahasa Indonesia (Ikatan Kesenian dan Ilmu Kerajaan di Batavia).[1]:12. Lembaga ini didirikan oleh Jacob Cornelis Matthieu Radermacher, seorang Naturalis asal Belanda pada tahun 1778. Setelah kemerdekaan Indonesia, pada 1950 lembaga ini berganti nama menjadi Lembaga Kebudajaan Indonesia namun pada 1962 lembaga ini diberhentikan dan koleksinya menjadi milik Museum Nasional. Lembaga ini adalah pelopor Museum Gajah dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang sekarang kedua-duanya berada di Jakarta. (kini Museum Nasional, Jakarta). Tahap kedua, tiga prasasti lainnya ditemukan berselang 61 tahun kemudian, yakni pada 1940. Ketiganya disimpan di museum yang sama.[4]. Selain sumber prasasti yupa, terdapat kitab Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Naskah Arab Melayu ini belum dibahas oleh Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia sehingga perihal lanjutan riwayat Dinasti Mulawarman tidak termuat dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia.
Nama kerajaan tertua di Nusantara yang umumnya diketahui oleh khalayak adalah Kutai.
Tim Penyusun Sejarah Nasional Indonesia mengungkapkan, nama Kutai digunakan oleh para peneliti sejak zaman Belanda untuk menamakan kerajaan Dinasti Mulawarman berdasarkan lokasi penemuan prasasti yupa di wilayah Kesultanan Kutai. Tetapi, prasasti yupa sendiri tidak menyebutkan nama kerajaannya dengan Kutai.[5]
Hanya ada lima nama raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di Prasasti Yupa ber-aksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara ber-aksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang autentik, melainkan dari ucapan meranyau seorang dukun dalam upacara adat belian.[6][7]
Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan. Pada salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa yang menjadi cikal bakal dari kerajaan kutai adalah kundungga, yang diteruskan kepada Aswawarman. Kemudian adapun pengganti dari Aswawarman yang memiliki putra sebanyak tiga orang yaitu Mulawarman. Nampaknya, pada zaman Mulawarman disitulah kerajaan kutai mencapai kejayaan tersebut.
Daftar Maharaja Kerajaan Kutai
Maharaja Kudungga, bergelar Anumerta Dewawarman (sebagai pendiri)
Maharaja Aswawarman (anak Raja Kudungga)
Maharaja Mulawarman (raja terkenal)
Maharaja Marawijaya Warman
Maharaja Gajayana Warman
Maharaja Tungga Warman
Maharaja Jayanaga Warman
Maharaja Nalasinga Warman
Maharaja Gadingga Warman Dewa
Maharaja Indra Warman Dewa
Maharaja Sangga Warman Dewa
Maharaja Candrawarman
Maharaja Sri Langka Dewa
Maharaja Guna Parana Dewa
Maharaja Wijaya Warman
Maharaja Sri Aji Dewa
Maharaja Mulia Putera
Maharaja Nala Pandita
Maharaja Indra Paruta Dewa
Maharaja Dharma Setia
1. Raja Kudungga kisah kisah yang terdengar yaitu Selama memimpin Kerajaan Kutai Martapura, Raja Kudungga dikenal arif dan bijaksana kepada rakyatnya, namun tegas dan keras tehadap perbuatan tercela para pejabat Kerajaan.
Satu ketika, ada seorang bangsawan yang diangkat menjadi menteri urusan keuangan dengan berbagai cara melakukan kecurangan, mengumpulkan harta kekayaan dengan mengkorupsi hasil pajak dan pungutan liar kepada para pedagang. Makin hari makin berani, menteri itu terang-terangan melakukan perbuatan tercela itu.
Ketika mendengar kelakuan menterinya Raja Kudungga murka. Dipanggilnya menteri itu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kudungga menitahkan agar hasil korupsi itu dikembalikan ke kas kerajaan. Dan hasil pungutan liar dikembalikan kepada para pedagang.
Di hadapan Raja Kudungga, menteri itu mengatakan, segera melaksanakan titah, namun yang terjadi sebaliknya. Diam-diam saat tengah malam, dia bersama keluarga dan pengikutnya memasukan harta hasil korupsi itu ke dalam sebuah kapal layar besar, meninggalkan Muara Kaman, pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Martadipura.
Raja Kudungga yang juga kakek dari Raja Mulawarnan itu, semakin murka. Dia merasa dihina dan direndahkan. Kudungga memohon kepada Dewata agar kutukannya kepada menteri korup dikabulkan.
“Kepada siapapun, apakah dia orang pendatang atau orang asli Naladwipa yang telah meminum air Mahakam. Maka jika dia membawa harta atau kekayaan yang didapat secara tidak benar, terkutuklah orang tersebut dengan suatu bala. Kutukan ini berlaku jika ke hilir melalui muara Mahakam, ke hulu sebatas Pinang Sendawar.” Guntur mengelegar ketika kutukan usai diucapkan. Bersamaan dengan itu juga perahu layar yang membawa menteri itu dan harta bendanya yang hendak berlayar ke Jawadwipa dihantam badai dahsyat. Gelombang besar menelan kapal layar menteri itu ke dasar lautan. Konon, ada kepercayaan kutukan Raja Kudungga berlaku hingga sekarang. Siapapun orangnya ketika membawa harta hasil korupsi dan jarahan dari Bumi Etam hidupnya pasti mendapat bala. Wallahualam.
2. Raja Aswawarman Raja Aswawarman melanjutkan upaya penyebaran agama Hindu di wilayah Kerajaan Kutai yang menyebabkan kuatnya pengaruh budaya Hindu dari India. Dalam sejarah Kerajaan Kutai pada masa kepemimpinan Raja Aswawarman, Kerajaan Kutai dicatat sebagai kerajaan dengan letak yang strategis. Letaknya yang berada di Muara Kaman memfasilitasi perdagangan dan hubungan dengan berbagai wilayah.
3. Raja Mulawarman Di masa kepemimpinanya, Raja Mulawarman menjalin hubungan perdagangan erat dengan India yang membawa pengaruh budaya Hindu ke Kerajaan Kutai.
Masa keemasan Kerajaan Kutai terjadi pada pemerintahan Raja Mulawarman. Pada saat itu, kerajaan mencapai puncak kejayaannya dan diakui sebagai salah satu kerajaan tertua di Kalimantan Timur.
Raja Mulawarman memajukan ekonomi kerajaan dengan mengembangkan sektor pertanian, peternakan, dan perdagangan sebagai mata pencaharian rakyat.
Masa Kejayaan Kerajaan Kutai
Kejayaan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman ditulis dalam Prasasti Yupa. Dalam prasasti tersebut dikatakan bahwa Mulawarman telah melakukan upacara pengorbanan emas yang jumlahnya sangat banyak. Emas tersebut dibagikan kepada para rakyatnya, selain itu juga dijadikan sebagai persembahan kepada para dewa.
Selanjutnya masa kejayaan pemerintahan Mulawarman bukan hanya ditandai dari bukti tertulis dalam Prasasti Yupa saja. Banyak aspek yang mendorong kerajaan tersebut mencapai masa keemasaanya. Adapun jika dilihat dari beberapa aspek lainnya sebagai berikut:
1. Aspek Sosial
Kehidupan sosial pada kerajaan ini ditandai dengan adanya golongan terdidik yang banyak. Golongan terdidik ini menguasai bahasa sansekerta serta huruf pallawa. Adapun golongan tersebut adalah golongan brahmana dan ksatria. Golongan ksatria terdiri dari kerabat Raja Mulawarman pada masa itu.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya upacara pemberkatan seseorang yang memeluk agama hindu. Dimana para brahmana memakai bahasa sansekerta yang sering digunakan pada prosesi adat tertentu, namun sulit untuk dipelajari. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pada masa itu, para brahmana memilik intelektual yang tinggi.\
2. Aspek Politik
Pada masa pemerintahan Raja Mulawarman, stabilitas politik begitu terjaga. Sistem politik menjadi kekuatan yang besar pengaruhnya dalam memimpin suatu kerajaan. Hal tersebut juga disebutkan di Prasasti Yupa bahwa Raja Mulawarman dikatakan menjadi raja yang berkuasa, kuat serta bijaksana.
Dari sinilah kita dapat mengetahui kekuatan politik dari Raja Mulawarman. Begitu kuatnya, hingga rakyat dan para golongan brahmana pun mendirikan tugu sebagai bukti bahwa dirinya sangat berkuasa pada masa itu.
3. Aspek Ekonomi
Letak kerajaan yang berada dekat dengan Sungai Mahakam, membuat rakyatnya begitu mudah untuk bercocok tanam. Hal tersebut menjadi mata pencaharian utama, sedangkan lainnya lebih banyak beternak sapi dan berdagang. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan tertulis yang mengatakan bahwa Raja Mulawarman pernah memberikan 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.
Selain itu, Kerajaan Kutai juga menerapkan sistem penarikan hadiah yang harus diberikan kepada raja bagi pedagang luar yang ingin berdagang di daerah Kutai. Pemberian hadiah biasanya berupa barang yang mahal atau upeti yang dianggap sebagai pajak. Oleh sebab itu, Kutai mendapatkan banyak pemasukan dari berbagai sumber.
4. Aspek Agama
Kehidupan masyarakat Kutai begitu kental dengan keyakinannya pada leluhur. Terbukti dengan adanya Prasasti Yupa yang berbentuk seperti tugu batu. Jika dilihat asal usulnya, tugu batu sendiri merupakan peninggalan nenek moyang pada Zaman Megalitikum.
Kemudian terdapat menhir dan batu berundak, selain itu dalam prasasti yupa menyebutkan tempat pemujaan yang suci bernama Waprakeswara (tempat pemujaan dewa siwa). Oleh sebab itu, diyakini bahwa bahwa Raja sebagai penganut agama hindu siwa bercampur dengan golongan brahmana. Sedangkan rakyatnya dibebaskan untuk menganut agama hindu dalam aliran lainnya.
Perlu diketahui bahwa kerajaan Kutai Kartanegara berbeda dengan Kerajaan Kutai yang dipimpin oleh Mulawarman. Kerajaan Kutai Kartanegara terletak di Tanjung Kute. Kemudian kerajaan inilah yang disebut dalam Kitab Negarakertagama pada tahun 1365.
Selanjutnya dalam perkembangannya Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi kerajaan islam yang disebut dengan Kesultanan Kutai Kartanegara. Inilah awal mula keruntuhan Kutai Mulawarman yang disebut juga dengan Kutai Martadipura. Selanjutnya kekuasaan diambil alih oleh Kesultanan Kutai Kertanegara.
Akhir Masa Kerajaan Kutai Masa kejayaan Kutai tidak berlangsung lama, setelah meninggalnya Raja Mulawarman, Kutai mengalami banyak pergantian pemimpin hingga mengalami keruntuhan pada masa pemerintahan Raja Dharma Setia pada abad ke 13 M. Raja Dharma Setia tewas di tangan penguasa Kerajaan Kutai Kertanegara yaitu Pangeran Anum Panji Mandapa.
Perlu diingat, Kerajaan Kutai Martadipura berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang kemudian berubah menjadi kerajaan Islam pada tahun 1735.
Pada tahun 1635 sejarah Kerajaan Kutai berakhir ketika Kesultanan Kutai Kartanegara berhasil mengambil alih.
Runtuhnya Kerajaan Kutai menandai perubahan besar dalam sejarah wilayah tersebut, dari kekuasaan Hindu menuju dominasi Kesultanan Islam.
Komentar